Sabtu, 19 Mei 2012

SAHIRUDIN, filsafat ketuhanan dalam Islam

Soal:
1. Jelaskan pengertian filsafat ketuhanan dalam Islam!
2. Bandingkanlah perjanjian dalam hukum islam dengan hukum eropa kontinental!
3. Kompromikan dengan teman sebangkumu tentang pengertian takwa!
4. Analisislah pengertin HAM menurut konsep agama Islam!
5. Sintesiskan empat pendapat para ahli tentang pengertian akhlak!
Jawab:
1. Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.

2. Perbandingannya dapat dilihat dari kesamaan dan perbedaan berikut:
Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).
Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.
Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan dan signifikan tentang perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :
 Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian sah bila tidak bertentangan dengan UU.
 Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).
 Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.

3. Setelah saya berkompromi dengan temanku, kami menyimpulkan bahwa:
Arti taqwa bisa berarti ”menjaga, menghindari, menjauhi”; dan ada juga yang mengartikan dengan ”takut”. Dengan mengambil pengertian ”takut”, maka taqwa berarti ”takut kepada Allah”. Karena ketakutan ini, maka ia harus mematuhi segala ”perintah Allah” dan ”menjauhi segala larangan-Nya”. Pengertian ini, misalnya, terungkap pada salah satu ayat yang sangat populer, karena sering dikumandangkan pada pengajian-pengajian keagamaan dan khutbah-khutbah jum’ah, yaitu dalam surat Ali Imran/3:102 yang berarti:
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Berdasar kepada ayat di atas yang mengartikan taqwa dengan ”takut”, maka dalam beberapa literatur berbahasa Inggris, taqwa juga sering diartikan sebagai ”God-fearing”, orang yang takut kepada Tuhan. Namun dalam Al-Qur`an, kata ”takut” telah memiliki padanan, yaitu "khasyiya" dan "khawf", misalnya terungkap dalam surat An-Nisa/4:9 sebagai berikut:
”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Nampak, bahwa ada nuansa perbedaan antara ”takut” dan ”taqwa”, dimana penggunaan istilah taqwa dalam ayat di atas, lebih cenderung kepada suatu sikap etis atau norma-norma yang harus dilakukan manusia. Orang-orang yang beriman dan mengikuti petunjuk Allah, justru akan dijauhkan dari ketakutan atau suasana ketakutan. Sebagaimana terdapat dalam surat Albaqarah/2:38
”Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Demikian pula dalam surat Al-Ahqaaf/46:13:
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”
Adapun pengertian taqwa dari akar kata yang bermakna ”menghindar, menjauhi, atau menjaga diri”, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah ”ittaqullah” yang secara harfiah berarti ”hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan ”Dia (Allah) bersama kamu dimana pun kamu berada”. Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat.Dalam surat Al-Furqan/25:15 Allah menegaskan:
”Katakanlah: “Apa (azab) yang demikian itukah yang baik, atau surga yang kekal yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa?” Dia menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka?.”
Dengan demikian, pangkal dari taqwa adalah ”perintah dan larangan” Allah yang ditujukan kepada manusia beriman, sehingga muncul kesadaran untuk ”takut” akan siksa Allah kalau tidak melaksanakan segala perintahNya, ”menghindari siksa Allah dengan cara melaksanakan perintahNya, dan senantiasa ”menjaga” serta ”memelihara” untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.
4. Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4)
Pertanyaan adakah ham dalam Islam harus dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas Urbaningrum hak asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi (Anas, 2004;91). Secara internasional umat Islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah (Azra).
HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan pengkuan oleh Islam
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Islam sebagai agama universal membuka wacana signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini (Anas, 2004;92).

5. a. Menurut Yunahar Ilyas (2002: 1) bahwa aklak berasal dari bahasa arab, secara  etimologis adalah berasal dari bentuk jama’ dari khuluq yang berarti budi  pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Atau besasal dari kata khalaqa  yang berarti menciptakan, seakar dengan kata khaliq yang berarti pencipta,  makhluk berarti yang diciptakan, dan khalq yang berarti penciptaan.  Sedangkan menurut istilah adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia,  sehingga dia akan muncul secara spontan bila mana diperlukan, tampa  memerlukan pemikiran dan pertimbangan telebih dahulu serta tidak  memerlukan dorongan dari luar.
b. Menurut Imam Al-Ghazali sebagamana yang dikutip oleh Islail Thabib (1992: 2) yang artinya: “Akhlak adalah pernyataan gerak-gerik dalam jiwa yang tertanam di dalamnya, sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah melakukannya tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
c. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan. Maksudnya, sesuatu yang mencirikan akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu apabila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak. Ahmad Amin menjelaskan arti kehendak itu ialah ketentuan daripada beberapa keinginan manusia. Manakala kebiasaan pula ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Daripada kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan
kearahmenimbulkan apa yang disebut akhlak.
d. Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran karena sudah menjadi kebiasaan. (alias.tripod.com/ pengertian akhlak).
Dari beberapa pendapat di atas dapat dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah ajaran yang membahas kebaikan dan keburukan, terpuji dan tercela, baik perkataan maupun perbuatan manusia lahir dan batin berdasarkan Al Quran dan Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar