Sabtu, 19 Mei 2012

SAHIRUDIN, hubungan metode diskusi dengan pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia masa depan di kelas XI SMAN 1 Kodeoha, Desa Malamala Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka utara”.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
  Pembelajaran (learning) bahasa harus dibedakan dengan pemerolehan (acquiring) bahasa. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak disengaja, maka pembelajaran bahasa diperoleh dengan sengaja. Jika pemerolehan bahasa terjadi karena kehendak kuat untuk menjadi bagian (bersoialisasi dengan) atau kehendak kuat untuk dianggap sebagai warga pemilik bahasa itu, maka pembelajaran bahasa terjadi karena "keinginan" untuk mengenali kehidupan orang-orang yang mempergunakan bahasa itu. Jika pemerolehan  bahasa terjadi secara tidak direncanakan, dirancang, disistematisasikan, maka pembelajaran bahasa terjadi karena pihak lain merancangnya tahap demi tahap, bahan demi bahan, tujuan demi tujuan. Rancangan dari pihak lain dapat saja wujud konkretnya menjadi suatu modul atau program pembelajaran, yang tanpa bantuan orang lain--tanpa guru-- dapat dikuasainya. Jika pemerolehan bahasa terjadi melalui intake (bahan bahasa yang meaningful/contextual/functional), maka pembelajaran bahasa dapat saja terjadi melalui bahan-bahan bahasa tanpa konteks.
Karena diketahui hasilnya sangat efektif, maka cara  memperoleh (acquiring) bahasa seperti disebutkan di atas diadopsi ke dalam pembelajaran (learning) bahasa. Muncullah karena itu cara pembelajaran kontekstual, di mana  materi bahasa dirakit dalam suatu konteks, dipilih sesuai dengan tingkat keseringan kemunculannya, dan dipilih berdasarkan konteks fungsional. Itulah sebabnya, pemilihan materi bahasa harus juga mendasarkan faktor sosiolinguistis dan pragmatis. Faktor sosiaolinguistis menentukan pilihan-pilihan variasi sosiaolinguistis: siapa mitra bicara, dalam konteks apa berbicara, saluran apa yang dipilih, tujuan apa yang dicapai. Faktor pragmatis menentukan pilihan-pilihan variasi kebahasaan berdasarkan tingkat keresmian komunikasi.
         
Mempelajari bahasa berdasarkan ciri-ciri seperti yang terjadi pada pemerolehan bahasa itulah yang secara khusus disebut mempelajari bahasa dengan pendekatan komunikatif. Tujuan pokok dari belajar bahasa dengan pendekatan itu adalah dicapainya  kemampuan berkomunikasi pada diri pembelajar. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa menjadi pandom (penuntun) pemilihan variasi-variasi bahasa, yang meliputi variasi ucapan, pilihan kosa kata, pilihan bentuk kata, pilihah frasa, klausa, jenis kalimat, urutan unsur-unsur kalimat, bahkan pilihan jenis wacana tertentu. Karena fungsi bahasa harus menuntun pilihan variasi bahasa, maka mau tidak mau konteks ( wacana) menjadi pandon penting.  
 Istilah diskusi berupa suatu konstruk yang oleh penulis diisi pengertian yang sedikit berbeda dengan istilah diskusi dalam kaitannya dengan debat, dan diskusi dalam kaitannya dengan bentuk pembelajaran pada umumnya. Pengertian umum diskusi adalah membicarakan suatu masalah oleh para peserta diskusi dengan tujuan untuk menemukan pemecahan yang paling baik berdasarkan berbagai masukan. Sebaliknya, debat adalah pembicaraan tentang suatu masalah dengan tujuan untuk memenangkan atau mempertahankan pendapat yang dimiliki oleh peserta debat. Sangat mungkin, pendapat yang dimenangkan bukan yang terbaik.
       
  Diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran umum adalah suatu cara pembelajaran di mana peserta didik (murid, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawaban bersama) dengan cara saling memberikan pendapatnya, kemudian disaring untuk ditemukan kesimpulan. Tentu saja persyaratan terjadinya pembelajaran dengan diskusi adalah bahwa bahasa benar-benar sudah sangat dikuasai oleh peserta didik.  Guru tidak lagi memberikan perhatian pada bahasa, melainkan pada isi atau materi diskusi.
         
Diskusi di dalam makalah ini diberi pengertian sebagai bentuk pembelajaran bahasa asing, di mana para peserta diskusi mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah (topik). Seseorang mempersiapkan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk karangan pendek, kemudian disajikan di kelas. Yang lain memberikan tanggapan secara lesan. Kebenaran pendapat yang disampaikan, baik oleh penyaji makalah maupun teman-temannya,  memang perlu diperhatikan, tetapi yang lebih ditekankan adalah bahasa yang dipergunakan benar atau tidak. Di samping itu, kesimpulan pendapat tidak perlu dituntut. Maka, tugas guru (instruktur) lebih pada merekam (mencatat) kesalahan-kesalahan bahasa apa saja yang dibuat oleh peserta diskusi.
         
Konteks diskusi  mirip dengan apa yang terjadi pada pelaksanaan perkuliahan seminar bahasa dan sastra, atau perkuliahan seminar pengajaran bahasa dan sastra di program studi atau jurusan bahasa dan sastra. Dalam pelaksanaan perkuliahan jenis ini, di samping diperhatikan tercapainya kompetensi sebagai pemakalah dalam menulis makalah, menyajikan makalah, menjawab pertanyaan; dan tercapainya kompetensi sebagai pemandu, penambat, dan pembahas tertunjuk, juga masih diperhatikan bagaimana pembahasaan (cara mengungkapkan dengan bahasa) dalam penelitian, bagaimana pemakaian bahasa dalam bertanya jawab, dan menuliskan tambatan.
Sebagaiman kita ketahui, bahwa metode diskusi merupakan salah satu metode pembelajaran yang mampu menerapkan semua keterampilan dalam berbahasa khususnya keterampilan berbicara. Kelas XI SMAN 1 Kodeoha yang terletak di Desa Malamala Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka Utara sengaja dipilih sebagai tempat pelaksanaan penelitian karena merupakan daerah yang terpencil yang penerapan metode diskusi dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat jarang bahkan tidak ada sama sekali.

1.2 Rumusan Masalah
Salah satu komponen penting yang harus ditentukan dalam penelitian adalah perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan pijakan bagi suatu penelitian sehingga rumusan masalah harus jelas. Yatim Riyanto (dalam Syamsuddin, 2007: 48) menegaskan bahwa masalah yang diteliti perlu diidentifikasi lebih rinci dan dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan operasional. Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, dapat ditarik suatu perumusan masalah dalam penelitian adalah “bagaimanakah hubungan metode diskusi dengan pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia masa depan di kelas XI SMAN 1 Kodeoha, Desa Malamala Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka utara”.

1.3 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai arah dan tujuan tertentu. Syamsuddin (2007: 51) berpendapat bahwa tujuan yang jelas memberikan landasan untuk merancang penelitian, untuk pemilihan metode yang paling tepat, untuk pengelolaan penelitian, dan faktor kunci dalam memberikanbentuk dan makna bagi laporan akhir. Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah  “untuk mengetahui hubungan metode diskusi dengan pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia masa depan di kelas XI SMAN 1 Kodeoha, Desa Malamala Kecamatan Kodeoha Kabupaten Kolaka utara”.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis, pembaca, dan pengajaran bahasa baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
a.   Sebagai sumber informasi dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai metode diskusi.
b. Sebagai sumber informasi dan tambahan ilmu pengetauan mengenai pendekatan pembelajan bahasa Indonesia masa depan.
2. Manfaat Praktis
a.   Bagi guru atau pengajar dapat dijadikan acuan sebagai fasilitator mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya penerapan metode diskusi.
b. Bagi masyarakat umum dapat sebagai sasaran tambahan pengetahuan
c.   Bagi peneliti lain dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan sumber informasi sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan kajian penelitian ini.

1.5 Batasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan untuk membatasi masalah penelitian agar dalam pembahasan tidak bercabang ke mana-mana. Masalah dalam penelitian ini terbatas pada metode diskusi dan pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia masa depan.




BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Macam-macam Pendekatan Pembelajaran
2.1.1 Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa
Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya. Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam kelas dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001:8). Dengan memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiranagar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata guru. Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesama teman, misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan ketrampilan sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible, Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
2.1.2 Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999)  kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara.
Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.

2.1.3 Pendekatan Deduktif – Induktif
a. Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya(Suwarna,2005).
b. Pendekatan Induktif
Ciri uatama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.

2.1.4  Pendekatan Konsep dan Proses
a. Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
b. Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses
mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi
peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian
integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman
yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya

2.1.5 Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)memandang STM sebagai the teaching and learning of science in thecontext of human experience. STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan
kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari.Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE(2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the widespread realization that in order to meet the increasingdemands of a technical society, education must integrate acrossdisciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STMharuslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagaidisiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yangterjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalampengembangan pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. STM dengandemikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah.

2.2 Metode dan Pendekatan KBM
2.2.1 Beberapa Pendekatan Pada KBM
1. Pendekatan tujuan pembelajaran
Pendekatan ini berorientasi pada tujuan akhir yang akan dicapai. Sebenarnya pendekatan ini tercakup juga ketika seorang guru merencanakan pendekatan lainnya, karena suatu pendekatan itu dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan. Sebagai contoh : Apabila dalam tujuan pembelajaran tertera bahwa siswa dapat mengelompokan makhluk hidup, maka guru harus merancang pembelajaran, yang pada akhir pembelajaran tersebut siswa sudah dapat mengelompokan makhluk hidup. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat berupa metode tugas atau karyawisata.
2. Pendekatan konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
3. Pendekatan lingkungan
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari sering digunakan pendekatan lingkungan.
4. Pendekatan inkuiri
Penggunaan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli peneliti ( Dettrick, G.W., 2001 ). Pendekatan inkuiri dibedakan menjadi inkuiri terpempin dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka. Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya.
5. Pendekatan penemuan
Penggunaan pendekatan penemuan berarti dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan sesuatu yang benar – benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan hal yang akan ditemukan.
6. Pendekatan proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.
7. Pendekatan interaktif ( pendekatan pertanyaan anak )
Pendekatan ini memberi kesempata pada siswa uuntuk mengajukan pertanyaan untuk kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan ( Faire & Cosgrove, 1988 dalam Herlen W, 1996 ). Pertanyaan yang diiajukn siswa sangat bervariasi sehingga guru perlu melakukan llangkah – langkah mengumpulkan, memilih, dan mengubah pertanyaan tersebut menjadi suatu kegiatan yng spesifik.
8. Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan. Dalam pendekatan ini ada dua versi. Versi pertama siswa dapat menerima saran tentang prosedur yang digunakan, cara mengumpulkan data, menyusun data, dan menyusun serangkaian pertanyaan yang mengarah ke pemecahan masalah. Versi kedua, hanya masalah yang dimunculkan, siswa yang merancang pemecahannya sendiri. Guru berperan hanya dalam menyediakan bahan dan membantu memberi petunjuk.
9. Pendekatan sains teknologi dan masyarakat ( STM )
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah ilmiah
10. Pendekatan terpadu
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang intinya memadukan dua unsur atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pemaduan dilakukan dengan menekankan pada prinsip keterkaitan antar satu unsur dengan unsur lain, sehingga diharapkan terjadi peningkatan pemahaman yang lebih bermakna dan peningkatan wawasan karena satu pembelajaran melibatkan lebih dari satu cara pandang. Pendekatan terpadu dapat diimplementasikan dalam berbagai model pembelajaran. Di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar terdapat tiga model pemdekatan terpadu yang sedang berkembang yaitu model keterhubungan, model jaring laba – laba, model keterpaduan.
2.2.2 Metode Pada KBM
1. Metode ceramah
Metode ceramah adalah metode penyampaian bahan pelajaran secara lisan. Metode ini banyak dipilih guru karena mudah dilaksanakan dan tidak membutuhkan alat bantu khusus serta tidak perlu merancang kegiatan siswa. Dalam pengajaran yang menggunakan metode ceramah terdapat unsur paksaan. Dalam hal ini siswa hanya diharuskan melihat dan mendengar serta mencatat tanpa komentar informasi penting dari guru yang selalu dianggap benar itu. Padahal dalam diri siswa terdapat mekanisme psikologis yang memungkinkannya untuk menolak disamping menerima informasi dari guru. Inilah yang disebut kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan diri.
2. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa. Dengan mengajukan pertanyaan yang terarah, siswa akan tertarik dalam mengembangkan daya pikir. Kemampuan berpikir siswa dan keruntutan dalam mengemukakan pokok – pokok pikirannya dapat terdeteksi ketika menjawab pertanyaan. Metode ini dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk mengadakan penelusuran lebih lanjut pada berbagai sumber belajar. Metode ini akan lebih efektif dalam mencapai tujuan apabila sebelum proses pembelajaran siswa ditugasi membaca materi yang akan dibahas.
3. Metode diskusi
Metode diskusi adalah cara pembelajaran dengan memunculkan masalah. Dalam diskusi terjadi tukar menukar gagasan atau pendapat untuk memperoleh kesamaan pendapat. Dengan metode diskusi keberanian dan kreativitas siswa dalam mengemukakan gagasan menjadi terangsang, siswa terbiasa bertukar pikiran dengan teman, menghargai dan menerima pendapat orang lain, dan yang lebih penting melalui diskusi mereka akan belajar bertanggung jawab terhadap hasil pemikiran bersama.
4. Metode belajar kooperatif
Dalam metode ini terjadi interaksi antar anggota kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang. Semua anggota harus turut terlibat karena keberhasilan kelompok ditunjang oleh aktivitas anggotanya, sehingga anggota kelompok saling membantu. Model belajar kooperatif yang sering diperbincangkan yaitu belajar kooperatif model jigsaw yakni tiap anggota kelompok mempelajari materi yang berbeda untuk disampaikan atau diajarkan pada teman sekelompoknya.
5. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memeragakan suatu proses kejadian. Metode demonstrasi biasanya diaplikasikan dengan menggunakan alat – alat bantu pengajaran seperti benda – benda miniatur, gambar, perangkat alat – alat laboratorium dan lain – lain. Akan tetapi, alat demonstrasi yang paling pokok adalah papan tulis dan white board, mengingat fungsinya yang multi proses. Dengan menggunakan papan tulis guru dan siswa dapat menggambarkan objek, membuat skema, membuat hitungan matematika, dan lain – lain peragaan konsep serta fakta yang memungkinkan.
6. Metode ekspositori atau pameran
Metode ekspositori adalah suatu penyajian visual dengan menggunakan benda dua dimensi atau tiga dimensi, dengan maksud mengemukakan gagasan atau sebagai alat untuk membantu menyampaikan informasi yang diperlukan.
7. Metode karyawisata/widyamisata
Metode karyawisata/widyawisata adalah cara penyajian dengan membawa siswa mempelajari materi pelajaran di luar kelas. Karyawisata memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, dapat meransang kreativitas siswa, informasi dapat lebih luas dan aktual, siswa dapat mencari dan mengolah sendiri informasi. Tetapi karyawisata memerlukan waktu yang panjang dan biaya, memerlukan perencanaan dan persiapan yang tidak sebentar.
8. Metode penugasan
Metode ini berarti guru memberi tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Metode ini dapat mengembangkan kemandirian siswa, meransang untuk belajar lebih banyak, membina disiplin dan tanggung jawab siswa, dan membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi. Tetapi dlam metode ini sulit mengawasi mengenai kemungkinan siswa tidak bekerja secara mandiri.
9. Metode eksperimen
Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dengan menggunakan percobaan. Dengan melakukan eksperimen, siswa menjadi akan lebih yakin atas suatu hal daripada hanya menerima dari guru dan buku, dapat memperkaya pengalaman, mengembangkan sikap ilmiah, dan hasil belajar akan bertahan lebih lama dalam ingatan siswa. Metode ini paling tepat apabila digunakan untuk merealisasikan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri atau pendekatan penemuan.
10. Metode bermain peran
Pembelajaran dengan metode bermain peran adalah pembelajaran dengan cara seolah – olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Dalam metode ini siswa berkesempatanm terlibat secara aktif sehingga akan lebih memahami konsep dan lebih lama mengingat, tetapi memerlukan waktu lama.
Pendekatan dan metode yang dipilih guru dalam memberikan suatu materi pelajaran sangat menentukan terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Tidak pernah ada satu pendekatan dan metode yang cocok untuk semua materi pelajaran, dan pada umumnya untuk merealisasikan satu pendekatan dalam mencapai tujuan digunakan multi metode.
Metode dibedakan dari pendekatan ; metode lebih menekankan pada pelaksanaan kegiatan, sedangkan pendekatan ditekankan pada perencanaannya. Ada lima hal yang perlu diperhatikan guru dalam memilih suatu metode mengajar yaitu :
• Kemampuan guru dalam menggunakan metode
• Tujuan pengajaran yang akan dicapai.
• Bahan pengajaran yang perlu dipelajari siswa.
• Perbedaan individual dalam memanfaatkan inderanya.
• Sarana dan prasarana yang ada di sekolah.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran biologi adalah pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan lingkungan, pendekatan inkuiri, pendekatan penemuan, pendekatan interaktif, pendekatan pemecahan masalah, pendekatan Sains Teknologi Masyarakat, dan pendekatan terpadu. Untuk merealisasikan suatu pendekatan dalam mencapai tujuan dapat digunakan beberapa metode antara lain metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode demonstrasi, metode ekspositori, metode karyawisata, metode penugasan, metode eksperimen, metode belajar kooperatif, dan metode bermain peran.
2.3 Pembelajaran Bahasa Indonesia
2.3.1 Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa Degeng (1989). Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi (1) siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial, (4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila (1)  diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994).

2.3.2 Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembicaraaan mengenai strategi pembelajaran bahasa tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan, metode, dan teknik mengajar.  Machfudz (2002) mengutip penjelasan Edward M. Anthony (dalam H. Allen and Robert, 1972) menjelaskan sebagai berikut.
2.3.2.1 Pendekatan Pembelajaran
Istilah pendekatan dalam pembelajaran bahasa mengacu pada teori-teori tentang hakekat bahasa dan pembelajaran bahasa yang berfungsi sebagai sumber landasan/prinsip pengajaran bahasa. Teori tentang hakikat bahasa mengemukakan asumsi-asumsi dan tesisi-tesis tentang hakikat bahasa, karakteristik bahasa, unsur-unsur bahasa, serta fungsi dan pemakaiannya sebagai media komunikasi dalam suatu masyarakat bahasa. Teori belajar bahasa mengemukakan proses psikologis dalam belajar bahasa sebagaimana dikemukakan dalam psikolinguistil. Pendekatan pembelajaran lebih bersifat aksiomatis dalam definisi bahwa kebenaran teori-teori linguistik dan teori belajar bahasa yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Dari pendekatan ini diturunkan metode pembelajaran bahasa. Misalnya dari pendekatan berdasarkan teori ilmu bahasa struktural yang mengemukakan tesis-tesis linguistik menurut pandangan kaum strukturalis dan pendekatan teori belajar bahasa menganut aliran behavioerisme diturunkan metode pembelajaran bahasa yang disebut Metode Tata Bahasa (Grammar Method).

2.3.2.2 Metode Pembelajaran
Istilah metode berarti perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini bersifat prosedural dalam arti penerapan suatu metode dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar.
Dalam strategi pembelajaran, terdapat variabel metode pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu strategi pengorganisasian isi pembelajaran, (b) strategi penyampaian pembelajaran, dan (c) startegi pengelolaan pembelajaran (Degeng, 1989). Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut.
(a)    Strategi Pengorganisasian Isi Pembelajaran
Adalah metode untuk mengorganisasikan isi bidang studi yang telah dipilih untuk pembelajaran. “Mengorganisasi” mengacu pada tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lain-lain yang setingkat dengan itu. Strategi penyampaian pembelajaran adalah metode untuk menyampaikan pembelajaran kepada pebelajar untuk menerima serta merespon masukan yang berasal dari pebelajar. Adapun startegi pengelolaan pembelajaran adalah metode untuk menata interaksi antara pebelajar dengan variabel pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran.
Strategi pengorganisasian isi pembelajaran dibedakan menjadi dua jenis, yaitu strategi pengorganisasian pada tingkat mikro dan makro. Strategi mikro mengacu pada metode untuk mengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada satu konsep atau prosedur atau prinsip. Sedangkan strategi makro mengacu pada metode untuk mengorganisasi isis pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu konsep atau prosedur atau prinsip. Strategi makro lebih banyak berurusan dengan bagaimana memilih, menata ururtan, membuat sintesis, dan rangkuman isi pembelajaran yang paling berkaitan. Penataan ururtan isi mengacku pada keputusan tentang bagaimana cara menata atau menentukan ururtan konsep, prosedur atau prinsip-prinsip hingga tampak keterkaitannya dan menjadi mudah dipahami.

(b)   Strategi Penyampaian Pembelajaran
Strategi penyampaian pembelajaran merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan proses pembelajaran. Strategi ini memiliki dua fungsi, yaitu (1) menyampaikan isi pembelajaran kepada pebelajar, dan (2) menyediakan informasi atau bahan-bahan yang diperlukan pebelajar untuk menampilkan unjuk kerja (seperti latihan tes).
Secara lengkap ada tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan strategi penyampaian, yaitu (1) media pembelajaran, (2) interaksi pebelajar dengan media, dan (3) bentuk belajar mengajar.
(1)   Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah komponen strategi penyampaian yang dapat dimuat pesan yang akan disampaikan kepada pebelajar baik berupa orang, alat, maupun bahan. Interkasi pebelajar dengan emdia adalah komponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu kepada kegiatan belajar. Adapun bentuk belajar mengajar adalah komponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu pada apakah pembelajaran dalam kelompok besar, kelompok kecil, perseorangan atau mandiri (Degeng, 1989).
Martin dan Brigss (1986) mengemukakan bahwa media pembelajaran mencakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan pembelajaran. Essef dan Essef (dalam Salamun, 2002) menyebutkan tiga kriteria dasar yang dapat digunakan untuk menyeleksi media, yaitu (1) kemampuan interaksi media di dalam menyajikan informasi kepada pebelajar, menyajikan respon pebelajar, dan mengevaluasi respon pebelajar, (2) implikasi biaya atau biaya awal melipui biaya peralatan, biaya material (tape, film, dan lain-lain) jumlah jam yang diperlukan, jumlah siswa yang menerima pembelajaran, jumlah jam yang diperlukan untuk pelatihan, dan (3) persyaratan yang mendukungh atau biaya operasional.

(2)   Interaksi Pebelajar Dengan Media
Bentuk interaksi antara pembelajaran dengan media merupakan komponen penting yang kedua untuk mendeskripsikan strategi penyampaian. Komponen ini penting karena strategi penyampaian tidaklah lengkap tanpa memebri gambaran tentang pengaruh apa yang dapat ditimbulkan oleh suatu media pada kegiatan belajar siswa. Oleh sebab itu, komponen ini lebih menaruh perhatian pada kajian mengenai kegiatan belajar apa yang dilakukan oleh siswa dan bagaimana peranan media untuk merangsang kegiatan pembelajaran.

(3)   Bentuk Belajar Mengajar
Gagne (1968) mengemukakan bahwa “instruction designed for effective learning may be delivered in a number of ways and may use a variety of media”. Cara-cara untuk menyampaikan pembelajaran lebih mengacu pada jumlah pebelajar dan kreativitas penggunaan media. Bagaimanapun juga penyampaian pembelajaran dalam kelas besar menuntu penggunaan jenis media yang berbeda dari kelas kecil. Demikian pula untuk pembelajaran perseorangan dan belajar mandiri.

(c)    Strategi Pengelolaan Pembelajaran
Strategi pengelolaan pembelajaran merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana interaksi antara pebelajar dengan variabel-variabel metode pembelajaran lainnya. Strategi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian tertentu yang digunakan selama proses pembelajaran. Paling sedikit ada empat klasifikasi variabel strategi pengelolaan pembelajaran yang meliputi (1) penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran, (2) pembuatan catatan kemajuan belajar siswa, dan (3) pengelolaan motivasional, dan (4) kontrol belajar.
Penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran atau komponen suatu strategi baik untuk strategi pengorganissian pembelajaran maupun strategi penyampaian pembelajaran merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan pembelajaran.  Penjadwalan penggunaan strategi pengorganisasian pembelajaran biasanya mencakup pertanyaan “kapan dan berapa lama siswa menggunakan setiap komponen strategi pengorganisasian”. Sedangkan penjadwalan penggunaan strategi penyampaian melibatkan keputusan, misalnya “kapan dan untuk berapa lama seorang siswa menggunakan suatu jenis media”.
Pembuatan catatan kemajuan belajar siswa penting sekali bagi keperluan pengambilan keputusan-keputusan yang terkait dengan strategi pengelolaan. Hal ini berarti keputusan apapun yang dimabil haruslah didasarkan pad ainformasi yang lengkap mengenai kemajuan belajar siswa tentang suatu konsep, prosedur atau prinsip? Bila menggunakan pengorganisasian dengan hierarki belajar, keputusna yang tepat mengenai unsur-unsur mana saja yang ada dalam hierarki yang diajarkan perlu diambil. Semua ini dilakukan hanya apabila ada catatan yang lengkap mengenai kemajuan belajar siswa.
Pengelolaan motivasional merupakan bagian yang amat penting dari pengelolaan inetraksi siswa dengan pembelajaran. Gunanya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Sebagian besar bidang kajian studi sebenarnya memiliki daya tarik untuk dipelajari, namun pembelajaran gagal menggunakannya sebagai alat motivasional. Akibatnya, bidang studi kehilangan daya tariknya dan yang tinggal hanya kumpulan fakta dan konsep, prosedur atau prinsip yang tidak bermakna.
Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers (dalam Machfudz, 2002) menyatakan dalam bukunya “Approaches and Methods in Language Teaching” bahwa metode pembelajaran bahasa terdiri dari (1) the oral approach and stiuasional language teaching, (2) the audio lingual method, (3) communicative language teaching, (4) total phsyical response, (5) silent way, (6) community language learning, (7) the natural approach, dan (8) suggestopedia.
Saksomo (1984) menjelaskan bahwa metode dalam pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain (1) metode gramatika-alih bahasa, (2) metode mimikri-memorisasi, (3) metode langsung, metode oral, dan metode alami, (4) metode TPR dalam pengajaran menyimak dan berbicara, (5) metode diagnostik dalam pembelajaran membaca, (6) metode SQ3R dalam pembelajaran membaca pemahaman, (7) metode APS dan metode WP2S dalam pembelajaran membaca permulaan, (8) metode eklektik dalam pembelajaran membaca, dan (9) metode SAS dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan.
Menurut Reigeluth dan Merril (dalam Salamun, 2002) menyatakan bahwa klasifikasi variabel pembelajaran meliputi (1) kondisi pembelajaran, (2) metode pembelajaran, dan (3) hasil pembelajaran.
(1)   Kondisi Pembelajaran
Kondisi pembelajaran adalah faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran (Salamun, 2002). Kondisi ini tentunya berinteraksi dengan metode pembelajaran dan hakikatnya tidak dapat dimanipulasi. Berbeda dengan halnya metode pembelajaran yang didefinisikan sebagai cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda. Semua cara tersebut dapat dimanipulasi oleh perancang-perancang pembelajaran. Sebaliknya, jika suatu kondisi pembelajaran dalam suatu situasi dapat dimanipulasi, maka ia berubah menjadi metode pembelajaran. Artinya klasifikasi variabel-variabel yang termasuk ke dalam kondisi pembelajaran, yaitu variabel-variabelmempengaruhi penggunaan metode karena ia berinteraksi  dengan metode danm sekaligus di luar kontrol perancang pembelajaran. Variabel dalam pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu (a) tujuan dan karakteristik bidang stuydi, (bahasa) kendala dan karakteristik bidang  studi, dan (c) karakteristik pebelajar.

(2)   Metode Pembelajaran
Machfudz (2000) mengutip penjelasan Edward M. Anthony (dalam H. Allen and Robert, 1972) menjelaskan bahwa istilah metode dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berarti perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini lebih bersifat prosedural dalam arti penerapan suatu metode dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar. Sedangkan menurut Salamun (2002), metode pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah sebuah cara untuk perencanaan secara utuh dalam menyajikan materi pelajaran secara teratur dengan cara yang berbeda-beda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda.
(3)   Hasil Pembelajaran
Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran (Salamun, 2002). Variabel hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kefektifav, (2) efisiensi, dan (3) daya tarik.
Hasil pembelajaran dapat berupa hasil nyata (actual outcomes), yaitu hasil nyata yang dicapai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi tertentu, dan hasil yang diinginkan (desired outcomes), yaitu tujuan yang ingin dicapai yang sering mempengaruhi keputusan perancang pembelajaran dalam melakukan pilihan metode sebaiknya digunakan klasifikasi variabel-variabel pembelajaran tersebut secara keseluruhan ditunjukkan dalam diagram berikut.

Kondisi  Tujuan dan karakteristik bidang studi Kendala dan karakteristik bidang studi Karakteristik siswa
            
Metode  Strategi pengorganisasian pembelajaran: strategi makro dan strategi mikro Strategi penyampaian pembelajaran  Strategi pengelolaan pembelajaran

            
            
Hasil Keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran

Diagram 1: Taksonomi variabel pembelajaran (diadaptasi dari Reigeluth dan Stein: 1983)

Keefektifan pembelajaran dapat diukur dengan tingkat pencapaian pebelajar. Efisiensi pembelajaran biasanya diukur rasio antara jefektifan dan jumlah waktu yang dipakai pebelajar dan atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. Daya tatik pembelajaran biasanya juga dapat diukur dengan mengamati kecenderungan siswa untun tetap terus belajar. Adapaun daya tarik pembelajaran erat sekali dengan daya tarik bidang studi. Keduanya dipengaruhi kualitas belajar.

2.3.2.3 Teknik Pembelajaran
Istilah teknik dalam pembelajaran bahasa mengacu pada pengertian implementasi perencanaan pengajaran di depan kelas, yaitu penyajian pelajaran dalam kelas tertentu dalam jam dan materi tertentu pula. Teknik mengajar berupa berbagai macam cara, kegiatan, dan kiat (trik) untuk menyajikan pelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Teknik pembelajaran bersifat implementasi, individual, dan situasional.
Saksomo (1983) menyebutkan teknik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain (1) ceramah, (2) tanya—jawab , (3) diskusi, (4) pemebrian tugas dan resitasi, (5) demonstrasi dan eksperimen, (6) meramu pendapat (brainstorming), (7) mengajar di laboratorium, (8) induktif, inkuiri, dan diskoveri, (9) peragaan, dramatisasi, dan ostensif, (10) simulasi, main peran, dan sosio-drama, (11) karya wisata dan bermain-main, dan (12) eklektik, campuran, dan serta—merta.

2.4 Pendekatan Pembelajaran Bahasa Indonesia Masa Depan
Saat ini, pembelajaran yang berorientasi pada potensi dan kebutuhan siswa menjadi perhatian utama ahli pendidikan Pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai sentral kegiatan belajar-mengajar sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan. Arah angin berpihak pada suatu sistem pendidikan yang menempatkan siswa pada posisi ‘diberdayakan’ secara maksimal yaitu mendidik mereka berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Filosofi itulah salah satunya yang mendasari pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-base curriculum).
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar yang mendasari filosofi pembelajaran berbasis kompetensi antara lain berikut ini.
a. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dan kemampuan di benak mereka sendiri.
b. Anak belajar dari mengalami, yaitu anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
c. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
d. Pengetahuan tidak dapat dipisah-dipisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
e. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
f. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.
g. Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
h. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
i. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru Guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis konstruktivisme.
Pendekatan belajar yang berasaskan konstruktivisme antara lain
1. pendekatan kontekstual,
2. life-skills education,
3. pendekatan CBSA,
4. pendekatan inkuiri,
5. pendekatan pemecahan masalah
6. pendekatan proses,
7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning),
8. authentic instruction,
9. pendekatan kooperatif, dan
10. work-based learing.
Ciri pembelajaran yang kontruktivistik telah antara lain berikut ini.
1. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
2. Keterampilan dikembangan atas dasar pemahaman.
3. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik.
4. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan   bermanfaat bagi dirinya.
5. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata.
6. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
7. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete)
8. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
9. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber.
10.Pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik, 1995).
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikn pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran yang ideal, seperti dalam rincian berikut
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning) Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata.
4. Bekerja sama (collaborating) Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards): Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
8. Menggunakan penilaian otentik (using authentic assessment)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.

  Sementara itu, The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran yang ideal.
1.  Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran bermakna (meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble.
2.  Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa depan.
3.  Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4.  Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
5.  Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas.
6.  Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.
 Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan (4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
 Pengajaran bahasa Indonesia dijalankan melalui pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja). Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas, siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung. Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula. Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano, 1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis.
 Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan, mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya dari buku-buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa.
Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui berbicara dan menulis (Platt, 1989).
 Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan kegiatan menulis, menurut Raimes (1987), bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini.
 Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara tertulis.
 Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan.
 Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi) penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat “ditiru” untuk belajar.
Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing for communication). Melalui menulis siswa akan belajar berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata. Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan.

 Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran dalam mengemukakan gagasan.
 Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning). Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya.
 Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis, selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2) menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri (Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu, menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di sekolah (Beach, 1984).
Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan independen dalam belajar dengan dua cara, (1) mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra (partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari, belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif, kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti, dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes, 1997:54).
 Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990), hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran. Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang mandiri.
Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata pelajaran.
 Agar tujuan tercapai, disarankan agar tugas-tugas (task) dan latihan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dijalankan secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi maupun kegiatannya. Harus disadari benar oleh guru bahwa kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar, berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa Indonesia itu.
2.5 PENERAPAN METODE DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN
Diskusi sebagai metode pembelajaran adalah proses pelibatan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif (Gagne & Briggs. 1979: 251). Manakala salah satu diantara siswa berbicara, maka siswa-siswa lain yang menjadi bagian dari kelompoknya aktif mendengarkan. Siapa yang berbicara terlebih dahulu dan begitu pula yang menanggapi, tidak harus diatur terlebih dahulu. Dalam berdiskusi, seringkali siswa saling menanggapi jawaban temannya atau berkomentar terhadap jawaban yang diajukan siswa lain. Demikian pula mereka kadang-kadang mengundang anggota kelompok lain untuk bicara, sebagai nara sumber. Dalam penentuan pimpinan diskusi, anggota kelompok dapat menetapkan pemimpin diskusi mereka sendiri. Sehingga melalui metode diskusi, keaktifan siswa sangat tinggi.
Mc.Keachie dan Kulik (Gage dan Berliner, 1984: 487), menyebutkan bahwa dibanding dengan metode ceramah, dalam hal retensi, proses berfikir tingkat tinggi, pengembangan sikap dan pemertahanan motivasi, lebih baik dengan metode diskusi. Hal ini disebabkan metode diskusi memberikan kesempatan anak untuk lebih aktif dan memungkinkan adanya umpan balik yang bersifat langsung. Menurut Mc. Keachie-Kulik dari hasil penelitiannya, dibanding metode ceramah, metode diskusi dapat meningkatkan anak dalam pemahaman konsep dan keterampilan memecahkan masalah. Tetapi dalam transformasi pengetahuan, penggunaan metode diskusi hasilnya lambat dibanding penggunaan ceramah. Sehingga metode ceramah lebih efektif untuk meningkatkan kuantitas pengetahuan anak dari pada metode diskusi.
Hasil-hasil penelitian tentang penggunaan metode diskusi kelompok oleh Lorge, Fox, Davitz, dan Brenner (Davies, 1984:237--239) dapat disimpulkan dalam rangkuman berikut.
a. Mengenai soal-soal yang berisiko, keputusan kelompok lebih radikal dari pada keputusan perorangan.
b. Kalau ada pelbagi pendapat tentang sebuah soal yang masih baru, maka pemecahan kelompok lebih tepat daripada pemecahan perorangan; tetapi tidak selalu demikian kalau soalnya biasa-biasa saja.
c. Kalau bahan persoalan bukan materi baru, dan anggota-anggota kelompok mempunyai keterampilan dalam memecahkan soal-soal sejenis, pemecahan kelompok lebih baik dari pemecahan oleh anggota masing-masing, tetapi kadang-kadang pemcahan anggota yang paling cerdas lebih baik lagi.
d. Kebaikan utama diskusi kelompok bukanlah pengajuan banyak pendekatan, melainkan penolakan terhadap pendekatan yang tidak masuk akal. (Konklusi ini tidak berlaku untuk "brain storming").
e. Yang memperoleh keuntungan dari diskusi kelompok, ialah siswa-siswa yang lemah dalam pemecahan soal.
f. Superioritas kelompok merupakan fungsi dari kualitas tiap anggota kelompok. Sebuah kelompok dapat diharapkan memecahkan sebuah soal, kalau sekurang-kurangnya satu anggota dapat memecahkan soal itu secara individual, sekalipun ia memerlukan lebih banyak waktu.
g. Dalam hal waktu, metode kelompok biasanya kurang efisien. Kalau anggota-anggota saling percaya dan bekerjasama dengan baik, maka kelompok dapat bekerja lebih cepat daripada kerja perorangan.
h. Kehadiran orang luar mempengaruhi prestasi anggota-anggota kelompok. Kalau kelompok itu bekerjasama secara harmonis, dan orang luar bergabung dengan kelompok, hal itu mempunyai pengaruh positif; kalau kerja sama itu tidak harmonis, maka kehadiran itu merusak, jika dia hanya bertindak sebagai pendengar saja.
i. Dengan metode diskusi perubahan sikap dapat dicapai dengan lebih baik daripada kritik langsung untuk mengubah sikap yang diharapkan. Metode diskusi juga paling baik untuk memperkenalkan inovasi-inovasi atau perubahan.
j. Kalau dipakai struktur pembahasan yang cocok dengan tugas, dan cukup waktu untuk meninjau persoalan dari segala segi, serta jika anggota-anggota tidak saling mengevaluasi, maka diskusi kelompok terbukti lebih kreatif daripada belajar perorangan. (Kondisi-kondisi ini terdapat pada "brain storming")
Bertolak dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas menyokong asumsi bahwa keunggulan metode diskusi terletak pada efektivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran tingkat tinggi dan tujuan pembelajaran ranah afektif (Davies, 1984: 239). Karena itu, ada tiga macam tujuan pembelajaran yang cocok melalui penggunaan metode diskusi:(1) penguasaan bahan pelajaran, (2) pembentukkan dan modifikasi sikap, serta (3) pemecahan masalah (Gall dan Gall, dalam Depdikbud, 1983:28).
Pembentukkan dan modifikasi sikap merupakan tujuan diskusi yang berorientasi pada isu yang sedang berkembang. Diskusi yang bertujuan membentuk atau memodifikasi sikap ini, dimulai dengan guru mengajukan permasalahan atau sejumlah peristiwa yang menggambarkan isu yang ada dalam masyarakat (seperti: kolusi dalam suatu lembaga, pelecehan seksual, gerakan disiplin nasional, penggusuran, dan lain sebagainya). Guru atau pimpinan kelompok selanjutnya meminta pandangan dari anggota kelompok untuk menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah isu tersebut. Komentar-komentar terhadap masalah atau jawaban masalah dapat diberikan anggota kelompok maupun pimpinan kelompok. Selama diskusi berlangsung, pemimpin diskusi mencoba memperoleh penajaman dan klarifikasi yang lebih baik tentang isu tersebut dengan memperkenalkan contoh-contoh yang berbeda, dan menggerakkan para anggota diskusi mengajukan pernyataan-pernyataannya.
2.5.1 Pemecahan Masalah sebagai Tujuan Diskusi
Pemecahan masalah merupakan tujuan utama dari diskusi (Maier, dalam Depdikbud, 1983:29). Masalah-masalah yang tepat untuk pembelajaran dengan metode diskusi adalah masalah yang menghasilkan banyak alternatif pemecahan. Dan juga masalah yang mengandung banyak variabel. Banyaknya alternatif dan atau variabel tersebut dapat memancing anak untuk berfikir. Oleh karena itu, masalah untuk diskusi yang pemecahannya tidak menuntut anak untuk berfikir, misalnya hanya menuntut anak untuk menghafal, maka masalah tersebut tidak cocok untuk didiskusikan.
Menurut Maiyer (Depdikbud,1983:29) dalam diskusi kelompok
kecil, dapat meningkatkan siswa untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, bilamana guru menginginkan keterlibatan anak secara maksimal dalam diskusi, maka jumlah anggota kelompok diskusi perlu diperhatikan guru. Jumlah anggota kelompok diskusi yang mampu memaksimalkan partisipasi anggota adalah antara 3--7 anggota. Dari hasil pengamatan, kelompok diskusi yang jumlah anggotanya antara 3--7 itu saja, anggota yang diduga kurang berpartisipasi penuh berkisar 1--2 orang. Dalam diskusi dengan jumlah anggota yang relatif kecil memungkinkan setiap anak memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi. Masalah atau isu yang dijadikan topik diskusi hendaknya yang relevan dengan minat anak. Masalah diskusi yang cocok dengan minat anak dapat mendorong keterlibatan mental dan keterlibatan emosional siswa secara optimal.
Melalui penggunaan metode diskusi, siswa juga mendapat kesempatan untuk latihan keterampilan berkomunikasi dan keterampilan untuk mengembangkan strategi berfikir dalam memecahkan masalah. Namun demikian pembelajaran dengan metode diskusi semacam ini keberhasilannya sangat bergantung pada anggota kelompok itu sendiri dalam memanfaatkan kesempatan untuk berpatisipasi dalam pembelajaran. Untuk meningkatkan proses diskusi, peranan pemimpin diskusi sangat menentukan.
Pemimpin diskusi bertugas untuk mengklarifikasi topik yang tidak jelas. Jika diskusi tidak berjalan, pemimpin diskusi berkewajiban mengambil inisiatif dengan melontarkan ide-ide yang dapat memancing pendapat peserta diskusi. Demikian pula bila terjadi ketegangan dalam proses diskusi, tugas pemimpin diskusi adalah meredakan ketegangan. Tidak jarang pendapat-pendapat dalam diskusi menyimpang dari topik utama, karena itu pemimpin diskusi bertugas untuk mengembalikan pembicaraan kepada topik utama diskusi.
Pemilikan pengetahuan secara umum tentang masalah yang didiskusikan adalah prasyarat agar setiap peserta mampu mengemukakan pendapat. Diskusi tidak akan berhasil manakala peserta diskusi belum memiliki pengetahuan yang menjadi masalah yang didiskusikan. Dalam diskusi formal, untuk membekali pengetahuan peserta, disajikan terlebih dahulu makalah yang disusun oleh salah satu peserta diskusi.
2.5.2 Beberapa Jenis Diskusi
a. Diskusi Kelompok Besar (Whole Group Discussion).
Jenis diskusi kelompok besar dilakukan dengan memandang kelas sebagai satu kelompok. Dalam diskusi ini, guru sekaligus sebagai pemimpin diskusi. Namun begitu, siswa yang dipandang cakap, dapat saja ditugasi guru sebagai pemimpin diskusi. Dalam diskusi kelompok besar, sebagai pemimpin diskusi, guru berperan dalam memprakarsai terjadinya diskusi. Untuk itu, guru dapat mengajukan permasalahan-permasalahan serta mengklarifikasinya sehingga mendorong anak untuk mengajukan pendapat. Dalam diskusi kelompok besar, tidak semua siswa menaruh perhatian yang sama, karena itu tugas guru sebagai pemimpin diskusi untuk membangkitkan perhatian anak terhadap masalah yang sedang didiskusikan. Di samping itu, distribusi siswa yang ingin berpendapat perlu diperhatikan. Dalam diskusi kelompok besar, pembicaraan sering didominasi oleh anak-anak tertentu. Akibatnya tidak semua anak berkesempatan untuk berpendapat. Untuk menghindari keadaan itu, pemimpin diskusi perlu mengatur distribusi pembicaraan. Tugas terberat bagi pemimpin diskusi adalah menumbuhkan keberanian peserta untuk mengemukakan pendapatnya. Dalam praktek, tidak sedikit anak-anak yang kurang berani berpendapat dalam berdiskusi. Terlebih bagi anak yang kurang menguasai permasalahan yang menjadi bahan diskusi.
b. Diskusi Kelompok Kecil (Buzz Group Discussion)
Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil terdiri atas 4--5 orang. Tempat berdiskusi diatur agar siswa dapat berhadapan muka dan bertukar pikiran dengan mudah. Diskusi diadakan dipertengahan pelajaran atau diakhir pelajaran dengan maksud menajamkan pemahaman kerangka pelajaran, memperjelas penguasaan bahan pelajaran atau menjawab pertanyaan-pertanyaan. Hasil belajar yang diharapkan ialah agar segenap individu membandingkan persepsinya yang mungkin berbeda-beda tentang bahan pelajaran, membandingkan interpretasi dan informasi yang diperoleh masing-masing individu yang dapat saling memperbaiki pengertian, persepsi, informasi, interpretasi, sehingga dapat dihindarkan kekeliruan-kekeliruan.
c. Diskusi Panel
Fungsi utama diskusi panel adalah untuk mempertahankan keuntungan diskusi kelompok dengan situasi peserta besar, dimana ukuran kelompok tidak memungkinkan partisipasi kelompok secara mutlak. Dalam artian panel memberikan pada kelompok besar keuntungan partisipasi yang dilakukan orang lain dalam situasi diskusi yang dibawakan oleh beberapa peserta yang terplih. Peserta yang terpilih yang melaksanakan panel mewakili beberapa sudut pandangan yang dipertimbangkan dalam memecahkan masalah. Mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang memenuhi syarat untuk berperan dalam diskusi tersebut. Forum panel secara fisik dapat dihadiri audience secara lansung atau tidak langsung (melalui TV, radio, dan sebagainya).
d. Diskusi Kelompok.
 Suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil terdiri atas 3--6 orang. Masing-masing kelompok kecil melaksanakan diskusi dengan masalah tertentu. Guru menjelaskan garis besar problem kepada kelas, ia menggambarkan aspek- aspek masalah kemudian tiap-tiap kelompok (syndicate) diberi topik masalah yang sama atau berbeda-beda selanjutnya masing-masing kelompok bertugas untuk menemukan kesepakatan jawaban penyelesaiannya. Untuk memudahkan diskusi anak, guru dapat menyediakan reference atau sumber-sumber informasi yang relevan. Setiap sindikat bersidang sendiri-sendiri atau membaca bahan, berdiskusi dan menysusun kesimpulan sindikat. Tiap-tiap kelompok mempresentasikan kesimpulan hasil diskusinya dalam sidang pleno untuk didiskusikan secara klasikal.
e. Brain Storming Group.
Kelompok menyumbangkan ide-ide baru tanpa dinilai segera. Setiap anggota kelompok mengeluarkan pendapatnya. Hasil belajar yang diharapkan ialah agar kelompok belajar menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan ide-ide yang yang ditemukannya dianggap benar.
f. Symposium.
Beberapa orang membahas tentang aspek dari suatu subjek tertentu dan membacakan di muka peserta simposium secara singkat (5--20 menit). Kemudian dikuti dengan sanggahan dan pertanyaan dari para penyanggah dan juga dari pendengar. Bahasan dan sanggahan itu selanjutnya dirumuskan oleh panitia perumus sebagai hasil simposium.
g. Informal Debate.
Kelas dibagi menjadi dua tim yang agak sama besarnya dan mendiskusikan subjek yang cocok untuk diperdebatkan tanpa memperdebatkan peraturan perdebatan. Bahan yang cocok untuk diperdebatkan ialah yang bersifat problematis, bukan yang bersifat faktual.
h. Colloqium.
Seseorang atau beberapa orang manusia sumber menjawab pertanyaan-pertanyaan dari audiensi. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa/mahasiswa menginterview manusia sumber, selanjutnya mengundang pertanyaan lain/tambahan dari siswa mahasiswa lain.
i. Fish Bowl.
Beberapa orang peserta dipimpin oleh seorang ketua mengadakan suatu diskusi untuk mengambil suatu keputusan. Tempat duduk diatur merupakan setengah lingkaran dengan dua atau tiga kursi kosong menghadap peserta diskusi, kelompok pendengar duduk mengelilingi kelompok diskusi, seolah-olah melihat ikan yang berada dalam mangkuk (fish bowl). Selama kelompok diskusi berdiskusi, kelompok pendengar yang ingin menyumbang pikiran dapat masuk duduk di kursi kosong. Apabila ketua diskusi mempersilahkan berbicara ia dapat langsung berbicara, dan meninggalkan kursi setelah berbicara.
2.5.3 Kegunaan Metode Diskusi
Diskusi sebagai metode mengajar lebih cocok dan diperlukan apabila kita (guru) hendak memberi kesempatan kepada siswa: untuk mengekspresikan kemampuannya, berpikir kritis, menilai perannya dalam diskusi, memandang masalah dari pengalaman sendiri dan pelajaran yang diperoleh di sekolah, memotivasi, dan mengkaji lebih lanjut. Melalui diskusi dapat dikembangkan keterampilan mengklarifikasi, mengklasifikasi, menyusun hipotesis, menginterpretasi, menarik kesimpulan, mengaplikasikan teori, dan mengkomunikasikan pendapat. Disamping itu, metode diskusi dapat melatih sikap anak menghargai pendapat orang lain, melatih keberanian untuk mengutarakan pendapat, mempertahankan pendapat, dan memberi rasional sehubungan dengan pendapat yang dikemukakannya.
2.5.4 Prinsip Umum Penggunaan Metode Diskusi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan metode diskusi, antara lain sebagai berikut.
a. Perumusan masalah atau masalah-masalah yang didiskusikan agar dilakukan bersama sama dengan siswa.
b. Menjelaskan hakikat masalah itu disertai tujuan mengapa masalah tersebut dipilih untuk didiskusikan.
c. Pengaturan peran siswa yang meliputi pemberian tanggapan, saran, pendapat, pertanyaan, dan jawaban yang timbul untuk memecahkan masalah.
d. Memberitahukan tata tertib diskusi.
e. Pengarahan pembicaraan agar sesuai dengan tujuan.
f. Pemberian bimbingan siswa untuk mengambil kesimpulan.
2.5.5 Langkah-Langkah Pelaksanaan Diskusi Kelompok
Langkah-langkah diskusi sangat bergantung pada jenis diskusi yang digunakan. Hal ini dikarenakan tiap-tiap jenis memiliki karakteristik masing-masing. Seminar memiliki karakteristik yang berbeda dengan simposium, brain storming, debat, panel, sindikat group dan lain-lain. Demikian pula siposium dan yang lain-lain tersebut juga memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Akibat perbedaan karakteristik tersebut, maka langkah dan atau prosedur pelaksanaannya berbeda satu dengan yang lain. Meskipun demikian, secara umum untuk keperluan pembelajaran di kelas, langkah-langkah diskusi kelas dapat dilaksanakan dengan prosedur yang lebih sederhana. Moedjiono, dkk (1996) menyebutkan langkah-langkah umum pelaksanaan diskusi sebagai berikut ini.
a. Merumuskan masalah secara jelas
b. Dengan pimpinan guru para siswa membentuk kelompok-kelompok diskusi, memilih pimpinan diskusi (ketua, sekretaris, pelapor), mengatur tempat duduk, ruangan, sarana, dan sebagainya sesuai dengan tujuan diskusi. Tugas pimpinan diskusi antara lain: (1) mengatur dan mengarahkan diskusi, (2) mengatur "lalu lintas" pembicaraan.
c. Melaksanakan diskusi. Setiap anggota diskusi hendaknya tahu persis apa yang akan didiskusikan dan bagaimana cara berdiskusi. Diskusi harus berjalan dalam suasana bebas, setiap anggota tahu bahwa mereka mempunyai hak bicara yang sama.
d. Melaporkan hasil diskusinya. Hasil-hasil tersebut ditanggapi oleh semua siswa, terutama dari kelompok lain. Guru memberi alasan atau penjelasan terhadap laporan tersebut.
e. Akhirnya siswa mencatat hasil diskusi, dan guru mengumpulkan laporan hasil diskusi dari tiap kelompok.
Budiardjo, dkk, 1994:20--23 membuat langkah penggunaan metode diskusi melalui tahap-tahap berikut ini.
1. Tahap Persiapan
a. Merumuskan tujuan pembelajaran
b. Merumuskan permasalahan dengan jelas dan ringkas.
c. Mempertimbangkan karakteristik anak dengan benar.
d. Menyiapkan kerangka diskusi yang meliputi: (1) menentukan dan merumuskan aspek-aspek masalah,(2) menentukan alokasi waktu,(3) menuliskan garis besar bahan diskusi,(3) menentukan format susunan tempat,(4) menetukan aturan main jalannya diskusi.
e. Menyiapkan fasilitas diskusi, meliputi: (1) menggandakan bahan diskusi,(2) menentukan dan mendisain tempat,(3) mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan.
2. Tahap pelaksanaan
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
b. Menyampaikan pokok-pokok yang akan didiskusikan.
c. Menjelaskan prosedur diskusi.
d. Mengatur kelompok-kelompok diskusi
e. Melaksanakan diskusi.
3. Tahap penutup
a. Memberi kesempatan kelompok untuk melaporkan hasil.
b. Memberi kesempatan kelompok untuk menanggapi.
c. Memberikan umpan balik.
d. Menyimpulkan hasil diskusi.
2.5.6 Peranan Guru Sebagai Pemimpin Diskusi
Untuk mempertahankan kelangsungan, kelancaran dan efektivitas diskusi, guru sebagai pemimpin diskusi memegang peranan menentukan. Mainuddin, Hadisusanto dan Moedjiono, (1980:8—9), menyebutkan sejumlah peranan yang dimainkan guru dalam memimpin diskusi sebagai berikut:

a. Initiating, yakni menyarankan gagasan baru, atau cara baru dalam melihat masalah yang sedang didiskusikan.
b. Seeking information, yakni meminta fakta yang relavan atau informasi yang otoritarif tentang topik diskusi.
c. Giving information, yakni fakta yang relavan atau menghubungkan pokok diskusi dengan pengalaman pribadi peserta.
d. Giving opinion, yakni memberi pendapat tentang pokok yang sedang dipertimbangkan kelompok, bisa dalam bentuk menantang konsesus atau sikap "nrimo" kelompok.
e. Clarifying, yakni merumuskan kembali pernyataan sesorang; memperjelas pernyataan sesorang anggota.
f. Elaborating, yakni mengembangkan pernyataan seseorang atau memberi contoh atau penerapan.
g. Controlling, yakni menyakinkan bahwa giliran bicara merata; menyakinkan bahwa anggota yang perlu bicara, memperoleh giliran bicara.
h. Encouraging, yakni bersikap resetif dan responsitif terhadap pernyataan serta buah pikiran anggota.
i. Setting Standards, yakni memberi atau meminta kelompok menetapkan, kriteria untuk menilai urunan anggota.
j. Harmonizing, yakni menurunkan kadar ketegangan yang terjadi dalam diskusi.
k. Relieving tension, yakni melakukan penyembuhan setelah terjadinya tegangan.
l. Coordinating, yakni menyimpulkan gagasan pokok yang timbul dalam diskusi, membantu kelompok mengembangkan gagasan.
m. Orientating, yakni menyampaikan posisi yang telah dicapai kelompok dalam diskusi dan mengarahkan perjalanan diskusi selanjutnya.
n. Testing, yakni menilai pendapat dan meluruskan pendapat kearah yang seharusnya dicapai.
o. Consensus Testing, menialai tingkat kesepakatan yang telah dicapai dan menghindarkan perbedaan pandangan.
p. Summarizing, yakni merangkum kesepakatan yang telah dicapai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar